PERMASALAHAN
DALAM PENGEMBANGAN
TERNAK
KERBAU DI INDONESIA
OLEH:
MUHAMMAD
MUHLISIN
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan
yang memiliki keanekaragaman hayati sangat melimpah. Namun, salah satu
keanekaragaman hayati yang perlu mendapat perhatian lebih adalah kerbau, sebab
populasinya kini cenderung menurun setiap tahunnya. Kerbau (Babalus bubalis)
mempunyai keistimewaan lebih dibandingkan dengan sapi karena mampu hidup
dikawasan yang relatif sulit, lebih-lebih bila pakan yang tersedia berkualitas
sangat rendah (Herianti et all., 2009).
Potensi kerbau tidak hanya sebagai
sumber tenaga kerja, tetapi juga berperan penting dalam penyediaan daging,
susu, dan pupuk. Di Toraja misalnya ternak kerbau dijadikan sebagai ternak
pelengkap pada acara sosial keagamaan. Di beberapa daerah seperti kabupaten
Blora dan Banten, preferensi daging kerbau lebih tinggi dimana masyarakat lebih
suka mengkonsumsi daging kerbau. Lebih dari 90% dengan sistem pemeliharaan
tradisional pada skala pemilikan 2-3 ekor per rumah tangga peternak.
Populasi kerbau di Indonesia
mengalami penurunan sejak tahun 1925 menurut Wiryosuhanto (1980) dalam
Praharani L. at all. (2009) dengan laju penurunan yang semakin besar.
Berdasarkan data statistik populasi dari DITJENAK (2008), sejak tahun
2000 sampai 2008 populasi ternak kerbau tidak meningkat dan cenderung menurun
8,85% dengan rataan tingkat penurunan sebesar 1,03% per tahun selama kurun
waktu delapan tahun. Penurunan populasi ini disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain rendahnya produktivitas ternak kerbau, masih tingginya angka
kematian ternak, dan pemotongan betina produktif dimana angka pemotongan betina
produktif mencapai 71,77% seperti yang dilaporkan di Nusa Tenggara Barat
(Muthalib, 2006 dalam Praharani L. at all., 2009).
Putu et all., (1994) dalam Utomo et
all., (2009) menegaskan bahwa penyebab rendahnya produktivitas kerbau adalah
sifat dari ternak yang pertumbuhannya lambat, durasi periode birahi kembali
panjang, masa kebuntingannya lama (lebih panjang dari sapi) dan timbulnya
gejala birahi yang sulit di deteksi. Di samping itu disebabkan oleh terbatasnya
bibit unggul, rendahnya kualitas pakan, kurangnya modal, dan rendahnya pengetahuan
petani terhadap reproduksi kerbau.
II. PEMBAHASAN
A. Potensi dari Ternak Kerbau
Pada hakekatnya kerbau memberi keuntungan
terhadap peternak yaitu produk daging, susu, pupuk, tenaga kerja, dan lain
sebagainya. Kerbau dapat diklasifikasikan berdasarkan bangsanya yakni kerbau
lumpur dan kerbau sungai. Banyak laporan yang telah mengumukakan hasil
penelitian mengenai kemampuan produksi ternak kerbau. Kerbau mempunyai beberapa
keunggulan untuk ditingkatkan perannya terutama berkaitan dengan potensi
genetik dan aspek lingkungannya. Kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat
tinggi, terlihat dari penyebarannya yang luas, mulai dari iklim kering, lahan
rawa, daerah pegunungan, dan daerah dataran rendah.
Dalam usaha peternakan rakyat,
kerbau dipelihara secara ekstensif terutama di daerah pantai, dimana
pemeliharaan kerbau umumnya digembalakan. Ada dua tipe utama kerbau yakni
kerbau lumpur dan kerbau sungai yang dimana masing-masing mempunyai beberapa
perbedaan baik fenotipe, karyotipe dan mitokondria DNA (FAO, 2007 dalam Hasinah
2009).
B. Sebaran Ternak Kerbau Di Indonesia
Populasi kerbau di Indonesia kurang
lebih 2,5 juta ekor yang mayoritasnya adalah kerbau lumpur, disamping kerbau
sungai/Murrah, Nili-Ravi dan Javar Abadi dalam jumlah yang dapat dikatakan
sedikit di Sumatera Utara. Bangsa – bangsa kerbau ini dimasukkan ke Indonesia
pada abad 19 dari Punjab – India, dan dipelihara oleh masyarakat keturunan
India sebagai penghasil susu. Tetapi, populasinya tidak banyak meningkat karena
faktor reproduksi dan intensitas inbreeding yang diduga
tinggi.
Ridhwan A.B Talib dan Chali Talib
(2007) menyatakan bahwa sekitar 90% populasi ternak kerbau di Indonesia
terkonsentrasi di 12 propinsi yaitu Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan, NTB, NTT, NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung
dan Sumatera Selatan. Di 12 propinsi ini juga hidup mayoritas sapi potong di
Indonesia. Akan tetapi ternak kerbau merupakan ternak yang mungkin paling
sedikit diteliti dan didayagunakan di Indonesia.
Banyak faktor penyebab yang
mengakibatkan produksi ternak kerbau di Indonesia sangat lambat. Salah satunya
adalah efisiensi reproduksi yang rendah jika dibandingkan dengan ternak sapi,
seperti tingkat kebuntingan yang rendah, lama bunting (11 bulan) dan juga
interval generasi yang lebih panjang. Upaya meningkatkan produktivitas ternak
kerbau menjadi hal yang sangat penting, bukan saja karena nilai budayanya yang
sangat tinggi dalam peradaban sebagian masyarakat Indonesia (suku Toraja,
Sumba, Flores dan Batak) yang menyebabkan harga ternak kerbau lebih mahal
dibanding sapi potong, sehingga ternak kerbau sangat perlu untuk dikembangbiakan.
C. Persoalan Peternakan Kerbau
Di Indonesia
Permasalah utama peternakan ruminansia
termasuk kerbau di Indonesia yang paling konservatif/tradisional hingga kini
adalah ketergantungan yang sangat besar terhadap potensi ternak itu sendiri dan
alam (sedikit sekali campur tangan manusia). Diduga telah terjadi
intensitas inbreeding yang tinggi pada kerbau Sungai
(Situmorang et al.,1990 dalam Ridhwan,at all., 2007) dan
mungkin juga pada kerbau Lumpur.
Pertimbangan ekonomi masih jauh dari
pertimbangan peternak kerbau yang ada hanya: pelihara - menjadi besar - butuh
uang - jual, selesai. Penerapan teknologi dalam pemeliharaan kerbau terbatas
sekali karena masih rendahnya orientasi ekonomi peternak. Sementara itu, ternak
kerbau kebanyakan hanya digunakan sebagai ternak kerja di wilayah persawahan,
sebab itu jarak beranak menjadi cukup panjang, akibatnya kontribusinya sebagai
penghasil daging rendah. Sebagai informasi tambahan, di Vietnam, ternak kerbau
menyumbang 35% dari total produksi daging nasional (DAO, 2000 dalam
Ridhwan, et all., 2007).
Peliharaan ternak kerbau lebih
tradisional daripada ternak sapi, sehingga produktivitasnya menjadi lebih
rendah. Padahal secara potensial ternak kerbau memiliki potensi sebagai
penghasil susu, daging dan kerja yang tidak kalah daripada ternak sapi. Semua
potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat, karena masih
adanya pendapat bahwa produktivitas ternak kerbau lebih rendah dari ternak
sapi. Oleh karena itu, ke depan sudah waktunya memperlakukan ternak kerbau
setara dengan perlakuan yang diberikan terhadap ternak sapi.
Sulaeman (2010) menerangkan bahwa faktor
penyebab menurunnya populasi kerbau di indonesia tidak berbeda jauh dengan di
negara-negara asia lainnya. Penurunan produktivitas kerbau disebabkan faktor
internal dan faktor eksternal.
Faktor internal
Faktor internal
1)
Masak
lambat
Kerbau termasuk hewan yang lambat
dalam mencapai dewasa kelamin (Subiyanto, 2010). Pada umumnya kerbau mencapai
pubertas pada usia yang lebih tua, sehingga kerbau mencapai dewasa kelamin pada
usia minimal 3 tahun (Toilehere,1985) 2-3 tahun (Lendhanie, 2005); 2-2,5
(Subiyanto, 2010).
2)
Lama
bunting
Kerbau akan mengandung anaknya
selama 10,5 bulan, sedangkan sapi hanya 9 bulan. Menurut Keman (2006) lama
bunting pada kerbau bervariasi dari 300-344 hari (rata-rata 310 hari) atau
secara kasar 10 bulan 10 hari. Dikemukakan pula oleh Hill (1998) bahwa lama
bunting pada kerbau lebih lama dan lebih bervariasi. Untuk kerbau kerja, lama
buntuing kerbau mesir bervarisi 325-330 hari. Hasil penelitian Landhanie (2005)
di Desa Sapala, kecamatan Danau Panggang lama bunting kerbau rawa mencapai 1
tahun.
3)
Waktu
berahi
Umumnya berahi pada kerbau terjada
pada saat menjelang malam sampai agak malam den menjelang pagi atau subuh atau
lebih pagi (Toilehere, 2001). Menurut Hill (1988) tanda-tanda berahi da
kativitas perkawinan pada jkerbau mesir pada umumnya terjadi pada malam hari.
Pada saat seperti ini umumnya kerbau-kerbau betina di Indonesian sedang berada
dalam kandang yang tertutup yang tidak memungkinkan terjadinya perkawinan.
4)
Adanya
Berahi tenang
Tanda-tanda berahi pada kerbau,
umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini menyulitkan paa
pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini
bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan sistem
pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.
5)
Calving
interval cukup panjang
Jarak beranak yang panjang merupakan
implikasi dari sifat-sifat reproduksi lainnya. Pada kerbau keerja jarak
beranak bervariasi dari 350-800 haru dengan rata-rata 553 hari (Keman, 2006).
Menurut Hill (1988) jarak beranak pada kerbau bervariasi dari 334-650
hari. Tyergantung pada manajemen yang dilakukan. Menurut Ladhanie (2005) jaerak
beranaka pada kerbau rawa antara 18-24 bulan.
Faktor
eksternal
1.
Pemberian
Pakan
Peternak kerbau di Indonesia umumnya
dilakoni oleh masyarakat dengan cara tradisional dan merupakan kegiatan yang
turun menurun sehingga pemberian pakan umumnya didapat pada saat digembalakan.
Rumput yang tumbuh di lapangan, di pematang sawahn atau pinggir-pinggir jalan
adalah pakan yang tersedia pada saat digembalakan. Kontribusi pakan sangat kuat
pengaruhnya terhadap performa reproduksi. Makanan berperan penting dalam
perkembangan umum dari tubuh dan reproduktif (Tillman, et al.,
1983).
Pakan dengan kualitas dan kuantitas yang
diberikan sangat rendah sehingga akan berpengaruh tidak baik terhadap performa
reproduksi. Ditambah lagi tenaga kerbau digunakan untuk mengolah sawah.
Meskipun salah satu keunggulan kerbau adalah mampu memamfaatkan pakan dengan
kualitas rendah, namun untuk mendapatkan performa reproduksi yang baik
memerlukan makanan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitas.
2.
Sosial
dan budaya
Beberapa daerah di Indonesia yang
secara sosial budaya berkaitan dengan kerbau menunjukkan populasi kerbau yang
tinggi. Keterkaitannya bisa berupa dalam adat istiadat atau kebutuhan
tenaga kerja. NTB, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan
keterkaitannya lebih pada adat istiadat yang turun temurun. Di Sumatera Barat,
kerbau mempunyai arti sosial yang sangat khas.
Rumah adat dan perkantoran
pemerintah mempunyai bentuk atap yang melengkung yang melambangkan bentuk
tanduk kerbau. Diduga kata “minangkabau” berasal dari “menang kerbau”
(Hardjosubroto, 2006). Pada masyarakat Batak dikenal upacara kematian sepeti
saur matua dan mangokal hili. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya
dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai pemotongan kerbau. Pemotongan kerbau
juga dilakukan pada saat upacara perkawinan, horha bius (acara penghormatan
terhadap leluhur, dan pendiri rumah adat (Susilowati, 2008).
D. Cara Alternatif Meningkatkan
Populasi Ternak Kerbau
Dalam rangka meningkatkan
produktivitas dan eksistensi kerbau rawa maupun sungai secara berkelanjutan
secara umum yaitu dengan melakukan perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan
ternak kerbau, yang meliputi:
1) Peningkatan mutu genetik melalui grading
up,
2) Revitalisasi
dan pengembangan kawasan perbibitan kerbau rakyat melalui
penataan kelompok, dan
3) Pelaksanaan biosekuriti secara tepat terutama
pada kawasan perbibitan.
Pengadaan dan pengembangan bibit
kerbau dilakukan melalui seleksi dan afkir atauculling secara
sistematis, dan menyebarluaskan bibit unggul hasil kajian dan telah memperoleh
justifikasi dari lembaga berwenang, baik di pusat maupun daerah. Program
pemuliabiakan untuk memperoleh bibit unggul dilakukan melalui:
1) Seleksi peningkatan populasi dan
produktivitas,
2) Persilangan secara sistematis dan terarah, dan
3) Program
pencatatan ataurecording system terutama di lokasi yang diarahkan
untuk pembibitan dan sertifikasi bibit (Toelihere dan Achyadi 2005).
Sosialisasi oleh pemerintah kepada peternak
kerbau bahwa pemberian input bagi ternak kerbau merupakan suatu invetasi yang
dapat memberri keuntungan. Salah satu usaha perlu dijalankan adalah melakukan
tindakan reward kepada pemilik kerbau melalui kontes ternak kerbau, sehingga
mendorong untuk memiliki kerbau yang baik pada skala nasional maupun regional.
Dengan demikian harga jual kerbau meningkat.
III. KESIMPULAN
Kerbau merupakan ternak yang perlu
dilestarikan dan ditingkatkan populasinya tentunya guna memenuhi permintaan daging
khususnya di Indonesia. Problem yang menyebabkan pengembangan ternak Kerbau di
Indonesia menurun adalah tujuan pemeliharaan yang dilakukan peternak tidak
jelas, pemeliharaan secara tradisional, aspek reproduksi yang rendah atau
lambat (masak lambat, lama birahi, umur kebuntingan, jarak antar beranak, umur
kawin, dsb.), aspek eksternal seperti pemberian pakan yang tidak di control,
inbreeding.
Inovasi yang harus dilakukan untuk
mengkatkan populasi ternak kerbau di Indonesia khususnya adalah melakukan
perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan ternak kerbau, yang meliputi: 1)
peningkatan mutu genetik melalui grading up, 2) revitalisasi
dan pengembangan kawasan perbibitan kerbau rakyat melalui penataan kelompok,
dan 3) pelaksanaan biosekuriti secara tepat terutama pada kawasan perbibitan.
Selain itu juga perlu diadakan sosialisasi kepada para peternak kerbau bahwa
kerrbau merrupakan investasi yang menguntungkan di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Bustami dan Susilawati E., 2007.
Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau Di Propinsi Jambi. ProsidingLokakarya
Nasional Usahaternak Kerbau 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi.
Hamdan, A., E.S. Rohaeni, dan A.
Subhan. 2006. Karakteristik sistem pemeliharaan kerbau rawa di Kalimantan
Selatan. hlm.170−177. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau
Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan Direktorat
Ridwan A. B. Thalib dan Chali Talib,
2008. Peran dan Ketersediaan Teknologi Pengembangan Kerbau Di Indonesia.
Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Sulaeman, 2010. Percepatan
Peningkatan Populasi dan Kualitas Kerbau Melalui efisiensi Reproduksi.
Prosiding Lokakarya Nasional Kerbau 2010, Universitas Padjadjaran.
Suryana, 2007. Usaha
Pengembangan Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. Jurnal Litbang Pertanian,
Kalimantan Selatan.
Toelihere, M.R. dan K. Achyadi.
2005. Desain program pengembangan ternak kerbau di Provinsi Kalimantan Selatan
tahun 2006− 2010. Makalah disampaikan pada Forum Konsultan Peternakan. Dinas
Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor. 34 hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar